Term

Artikel dalam blog ini adalah karya asli penulis. Beberapa artikel pernah penulis unggah diblog yang lain sebelumnya, yang pada saat ini blog tersebut telah penulis hapus. Disamping itu, sebagian juga merupakan pindahan tulisan dari web geo.fis.unesa.ac.id mengingat keterbatasan space pada web tersebut. Pembaca diijinkan untuk menyitir artikel dalam blog ini, tetapi wajib mencantumkan nama blog ini sebagai sumber referensi untuk menghindari tindakan plagiasi. Terimakasih

Monday, September 29, 2014

Tipe karst yang berkembang di Gunungsewu



Gunungsewu pertama dikenalkan pada dunia oleh Herbert Lehman pada tahun 1936. Lehman menyebutkan bentang lahan karst Gunungsewu memiliki tipe konikal karst. Selanjutnya tipe ini dikenal dengan istilah kegel karst yang oleh Lehman dinyatakan sebagai tipe karst Gunungsewu (Gunungsewu karst type). Lehman menjelaskan bahwa karst Gunungsewu terdiri dari perbukitan karst dengan konikal yang diselingi oleh lembah tertutup berbentuk bintang  atau jaringan lembah yang saling terhubung.


Haryono dan Day (2004) lebih memerinci tipe umum dari kegelkarst tersebut menjadi tiga tipe yang lebih spesifik. Tipe karst tersebut adalah labyrint cone karst, polygonal karst, dan residual cone karst. Ketiga tipe tersebut dibedakan berdasarkan ciri morfologi permukaanya.
Labyrint cone karst merupakan tipe karst yang dicirikan oleh jaringan bukit karst memanjang bersamaan dengan terdapatnya jaringan lembah pada bagian sisinya. Tipe ini banyak ditemui pada sisi selatan karst Gunungsewu. Secara administratif dijumpai diwilayah kecamatan Saptosari dan Tepus.
Polygonal karst dicirikan oleh kesatuan cekungan lembah tertutup yang dibatasi oleh perbukitan karst yang berfungsi sebagai batas poligon. Poligonal karst banyak terdapat di bagian barat karst Gunungsewu, yaitu di sekitar kecamatan Panggang.
Residual cone karst dicirikan oleh bukit-bukit karst yang menyebar dengan dihubungkan oleh dataran hasil lapukan batuan dasar. Tipe ini banyak ditemui dibagian timur karst Gunungsewu yaitu kecamatan Ponjong bagian selatan. Residual cone karst sering digolongkan sebagai tower karst, walaupun memiliki bentuk yang relatif cembung.
Ketiga tipe tersebut tidak tersebar secara acak, namun mengelompok pada wilayah-wilayah seperti diuraikan diatas. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan bentuk karst tersebut dengan variasi struktural dan litologis karst Gunungsewu tersebut.

Referensi
Haryono, E. dan Day, M., 2004. Landform differentiation within the Gunung Kidul Kegelkarst, Java, Indonesia. Journal of Cave and Karst Studies. Vol. 66 no. 2 p. 62-69.
Haryono, E., 2001. Nilai Hidrologis Bukit Karst. Makalah Seminar Nasional, Eko-Hidrolik, 28-29 Maret 2001. Teknik Sipil. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Haryono, E. dan Suratman, 2010. Significant feature of Gunungsewu karst as Geopark Site. 4th International UNESCO Conference on Geopark, April 12-15, 2010, Langkawi.

Karakteristik Morfologi Cekungan Karst Gunungsewu Melalui Data GDEM ASTER

Artikel pernah dimuat di Jurnal Geografi – “Geografi dan Pengajarannya” . Vol 12. No 1. Juni 2014 p. 37-45 Jurdik Geografi UNESA.


PENDAHULUAN
Morfologi kawasan karst seperti Gunungsewu terbentuk oleh adanya proses karstifikasi yang terjadi dalam kurun waktu geologi. Proses karstifikasi dikontrol oleh beberapa hal yaitu karakteristik batuan karbonat, curah hujan, dan ketinggian penyingkapan (Haryono dan Adjie, 2004). Karakteristik batuan karbonat meliputi kekompakan, ketebalan, banyaknya rekahan yang ada serta kemudahan terlarutnya. Batuan karbonat yang kompak dan tebal dengan memiliki banyak celah lebih berpotensi mengalami proses karstifikasi. Proses karstifikasi tersebut selanjutnya ditentukan oleh curah hujan yang turun pada wilayah tersebut. Curah hujan yang tinggi lebih memungkinkan terjadinya pelarutan, terlebih jika air hujan tersebut banyak mengandung CO2. Ketinggian singkapan mempengaruhi lamanya air bergerak dalam rekahan vertikal batuan karbonat. Semakin lama pergerakan air pada rekahan vertikal akan memperbesar peluang air tersebut melarutkan batuan karbonat. Kecepatan proses karstifikasi selanjutnya dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi penutup dan temperatur. Vegetasi penutup menghasilkan sersah yang lama-kelamaan akan hancur. Hancuran sersah tersebut merupakan sumber CO2 yang bersama dengan air akan melarutkan batuan karbonat.
Proses pelarutan tersebut membentuk muka dari permukaan karst dan juga bentuk bagian dalam batuan tersebut. Bentukan luar berupa bukit dan lembah, sementara bentukan bagian dalam berupa sungai bawah tanah beserta semua speleothemnya. Proses pelarutan terus terjadi selama batuan karbonat tersebut bersinggungan dengan air yang mengandung karbondioksida seperti air hujan. Hasilnya adalah perubahan bentuk permukaan ataupun bawah permukaan karst yang terus terjadi secara perlahan.
Cekungan karst merupakan satu bentuk fitur karst permukaan karst yang dapat menjadi indikator penting untuk karakterisasi tingkat perkembangan karst (Haryono, 2010). Cekungan karst seperti sinkhole juga dapat digunakan sebagai dasar dalam penilaian kondisi infiltrasi permukaan (Tezcan dan Ekmekci, 2004), yang selanjutnya digunakan sebagai dasar penilaian kerentanan medan karst. Lindsey dkk (2009) menyimpulkan bahwa analisis terhadap kepadatan sinkhole dapat digunakan sebagai dasar penilaian kerentanan akuifer karst terhadap pencemaran yang efektif.
Kawasan karst Gunungsewu sebagian besar berupa perbukitan dan lembah karst. Kusumayudha (2010) menyebutkan bahwa kawasan karst gunungsewu terbagi menjadi tiga bagian yang memiliki karakteristik yang berbeda. Karakterisasi didasarkan pada lithofasies karst Gunungsewu. Klasifikasi kawasan karst Gunungsewu juga dilakukan oleh Purnomo dan Sugeng (2005) melalui data citra Landsat TM 7 dan menyimpulkan bahwa kawasan kart tersebut terbagi menjadi kawasan karst kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Kawasan karst kelas 1 dicirikan oleh morfologi permukaan berupa jaringan lembah sungai yang berakhir pada suatu tempat, memiliki lembah yang relatif lebar dan panjang yang mencirikan proses karstifikasi yang intensif. Kawasan ini tersebar dibagian tengah karst Gunungsewu. Kawasan karst kelas 2 merupakan kawasan pengimbuh air sungai bawah tanah dengan kelurusan lembah yang pendek dan sempit. Kawasan kelas 2 tersebar didaerah Girisubo dan Purwosari. Kawasan karst kelas 3 dicirikan oleh perbukitan yang melengkung akibat perbedaan batuan penyusunnya. Kawasan ini tersebar disekitar Wonosari.
Karakterisasi permukaan karst memiliki arti penting diantaranya dalam kaitan dengan pencirian kerentanan medan karst. Perbedaan karakter permukaan dapat mengindikasikan tingkat infiltrasi seperti disebutkan oleh Werz dan Hotzl (2007), Lindsey dkk (2009), dan Plan dkk (2009). Penelitian ini mencoba melakukan karakterisasi morfologi cekungan karst Gunungsewu dengan mendasarkan data DEM.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola persebaran cekungan
Analisis pola persebaran cekungan di seluruh daerah penelitian menunjukkan kemiripan karakteristik yaitu tersebar dengan pola acak. Hasil analisis tetangga terdekat menghasilkan nilai sebagai berikut.

Tabel 1. Nilai Indek Tetangga Terdekat sentroid cekungan
Faktor Hitung
Unit Analisis
1
2
3
4
5
Jarak rata-rata yang diobservasi
0.00174
0.00139
0.00215
0.00227
0.00222
Jarak rata-rata yang diharapkan
0.00131
0.00112
0.00180
0.00153
0.00161
Indeks tetangga terdekat
1.321
1.241
1.198
1.481
1.380
Sumber : hasil perhitungan

Dari tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa seluruh sampel pada tiap unit analisis menunjukkan nilai indek tetangga terdekat memiliki nilai mendekati angka 1 yang berarti memiliki pola persebaran yang acak. Namun demikian jika dibuat tingkat keberaturannya, maka dapat dinyatakan bahwa unit analisis 3 memiliki tingkat paling acak dan unit analisis 4 merupakan unit yang paling mengarah pada persebaran yang lebih teratur. Secara visual nampak unit analisis 3 berasosiasi dengan banyaknya kelurusan struktural.
Faktor kelerengan
Analisis kelerengan yang diukur adalah kemiringan lereng. Analisis kemiringan lereng menunjukkan nilai rerata kemiringan lereng yang bervariasi diantara seluruh unit analisis penelitian. Kemiringan lereng rata-rata pada seluruh unit analisis berkisar antara 16 hingga 21o. Nilai rerata kemiringan lereng hasil pengukuran ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel 2. Rerata kemiringan lereng cekungan
Faktor hitung
Unit Analisis (satuan = o)
1
2
3
4
5
Rerata Kemiringan
16,19
14,32
17,89
21,63
20,26
Standar deviasi
5,61
4,91
5,84
7,26
7,62
Sumber : Hasil perhitungan
Tabel tersebut menunjukkan bahwa rerata kemiringan lereng terbesar terdapat pada daerah unit analisis 4 yaitu sebesar 21,63o. Daerah ini berasosiasi dengan perbukitan karst yang tinggi pada kondisi lapangan yang sebenarnya. Rerata kemiringan lereng terkecil terdapat pada daerah unit analisis 2 yang memiliki visualisasi tekstural paling halus. Daerah unit analisis 2 ini memiliki kondisi lapangan dengan cekungan-cekungan berlereng relatif lebih landai dan luas. Jika dilihat variansi kemiringan lerengnya dapat diketahui bahwa pada unit analisis 5 memiliki variansi yang paling tinggi sementara daerah unit analisis 2 merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang relatif paling seragam. Kemiringan lereng rata-rata semakin meningkat dari unit analisis 2 hingga unit analisis 4, sementara itu variasi kemiringannya semakin meningkat dari unit analisis 2 hingga unit analisis 5. Hasil uji beda melalui T-test diketahui bahwa perbedaan kemiringan yang ada pada seluruh area unit analisis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Kekasaran Permukaan
Hasil pengukuran kekasaran permukaan karst pada seluruh unit analisis diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 4. Rerata kekasaran permukaan
Faktor Hitung
Unit Analisis (m)
1
2
3
4
5
Nilai Minimal
0
0
0
0
0
Nilai Maksimal
252.65
223.73
226.02
254.19
258.94
Rata-rata
78.41
52.41
56.42
77.97
70.03
Standar Deviasi
54.90
33.07
31.49
51.51
56.86
Sumber : Hasil perhitungan
Dari tabel tersebut diketahui bahwa seluruh unit analisis memiliki area yang datar hingga tingkat kekasaran Intermediately rugged dan Moderatly rugged. Klasifikasi tersebut didasarkan pada indek kekasaran permukaan Riley dkk (1999). Unit analisis 1, 4 dan 5 memiliki tingkat kekasaran permukaan hingga level moderately rugged, sedangkan unit analisis 2 dan 3 memiliki tingkat kekasaran permukaan hingga intermediately rugged. Unit analisis 2 merupakan unit analisis dengan kekasaran permukaan paling datar.

Tabel 5. Indek kekasaran permukaan Riley
Ruggedness Classification
Ruggedness Index Value
Level
0 – 80m
Nearly Level
81 – 116m
Slightly Rugged
117 – 161m
Intermediately Rugged
162 – 239m
Moderately Rugged
240 – 497m
Highly Rugged
498 – 958m
Extremely Rugged
959 – 4397m

Sumber : Riley dkk (1999)
Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa sebagian besar unit analisis memiliki perbedaan kekasaran permukaan yang signifikan, kecuali unit analisis 1 dibandingkan dengan unit analisis 4. Kekasaran permukaan unit analisis 1 tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kekasaran permukaan unit analisis 4. Pada kedua unit analisis tersebut berupa perbukitan karst dengan cekungan lembah berlereng terjal.

Tabel 5. Nilai uji beda dengan T-test pada taraf signifikansi 5%
Unit Analisis
1
2
3
4
5
1
-
26,59
-22,77
-0,38
-6,95
2
-
-
5,76
27,37
17,56
3
-
-
-
23,39
-13,72
4
-
-
-
-
6,78
5
-
-
-
-
-
Sumber : Hasil Perhitungan
Dari tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar nilai t hitung berada lebih besar ataupun lebih kecil dari nilai ambang batas penerimaan yaitu ± 1,960. Nilai t hitung yang berada pada daerah penerimaan hanya dihasilkan dari hasil pembedaan unit analisis 1 dengan unit analisis 4 yaitu sebesar -0,38, yang berarti pada kedua unit analisis tersebut memiliki kesamaan tingkat kekasaran rata-ratanya.

Kesimpulan
GDEM Aster dapat digunakan dengan baik untuk karakterisasi morfologi permukaan karst. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan SIG sangat membantu dalam proses analisis morfologi tersebut.
Karst gunungsewu memiliki keragaman karakteristik yang menyebar dari barat hingga timur. Keragaman karakteristik tersebut didasarkan pada parameter pola persebaran cekungan, kemiringan lereng, dan kekasaran permukaan karst.
·    Berdasar pada parameter pola persebaran cekungan diketahui seluruh area karst gunungsewu memiliki pola persebaran cekungan yang acak. Pola keberaturan cekungan tersebut dimungkinkan terdapat keterkaitan dengan bentuk cekungan pada masing-masing unit analisis.
·    Berdasar parameter kemiringan lereng cekungan diketahui bahwa kemiringan lereng terkecil terdapat disebelah barat (unit analisis 2) dan semakin meningkat hingga sisi timur (unit analisis 4) yang berasosiasi dengan perbukitan karst tinggi.
·    Berdasar parameter kekasaran permukaan diketahui bahwa seluruh area karst gunungsewu memiliki kekasaran permukaan dari level datar hingga intermediately rugged dan moderately rugged.  Sebagian besar dari unit analisis memiliki perbedaan tingkat kekasaran permukaan rata-rata yang signifikan. Kesamaan tingkat kekasaran permukaan rata-rata hanya pada unit analisis 1 dengan unit analisis 4.

Daftar Pustaka
Haryono, E., Adji, T.N.,2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Bahan Ajar. Kelompok Studi Karst. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Kusumayudha, S.B., 2005. Hidrogeologi karst dan geometri fraktal di daerah Gunungsewu. Penerbit Adicita. Yogyakarta.
Purnomo, H., Sugeng, 2005. Klasifikasi kawasan karst menggunakan Landsat TM 7 daerah Wonosari Yogyakarta. PIT MAPIN XIV. Surabaya.
Plan, L., Decker, K., Faber, R., Wagreich, M., Grasemann, B., 2009. Karst morphology and groundwater vulnerability of high alpine karst plateaus. Environ Geol.58: 258-297.DOI: 10.1007/s00254-008-1605-5
Riley, S., J., DeGloria, S., D., Elliot, R., 1999. A Terrain Ruggedness Index That Quantifies Topographic Heterogeneity. Intermountain Journal of Science. Vol. 5. 1 – 4. P. 23-27.
Tezcan, L. dan Ekmekci, M., 2004. Surface cover infiltration index: a suggested method to assess infiltration capacity for intrinsic vulnerability in karstic areas in absence of quantitative data. Int. J. Speleol, 33: 35-48.
Werz, H., dan Hotzl, H., 2007. Groundwater risk intensity mapping in semi arid regions using optical sensing data as an additional tool. Hydrogeology Journal. 15: 1031-1049 DOI: 10.1007/s10040-007-0202-0