Artikel
pernah dimuat di Jurnal Geografi – “Geografi
dan Pengajarannya” . Vol 12. No 1. Juni 2014 p. 37-45 Jurdik Geografi
UNESA.
PENDAHULUAN
Morfologi kawasan
karst seperti Gunungsewu terbentuk oleh adanya proses karstifikasi yang terjadi
dalam kurun waktu geologi. Proses karstifikasi dikontrol oleh beberapa hal
yaitu karakteristik batuan karbonat, curah hujan, dan ketinggian
penyingkapan (Haryono dan Adjie, 2004). Karakteristik batuan
karbonat meliputi kekompakan, ketebalan, banyaknya rekahan yang ada serta
kemudahan terlarutnya. Batuan karbonat yang kompak dan tebal dengan memiliki
banyak celah lebih berpotensi mengalami proses karstifikasi. Proses
karstifikasi tersebut selanjutnya ditentukan oleh curah hujan yang turun pada
wilayah tersebut. Curah hujan yang tinggi lebih memungkinkan terjadinya
pelarutan, terlebih jika air hujan tersebut banyak mengandung CO2. Ketinggian
singkapan mempengaruhi lamanya air bergerak dalam rekahan vertikal batuan
karbonat. Semakin lama pergerakan air pada rekahan vertikal akan memperbesar
peluang air tersebut melarutkan batuan karbonat. Kecepatan proses karstifikasi
selanjutnya dipengaruhi oleh keberadaan vegetasi penutup dan temperatur.
Vegetasi penutup menghasilkan sersah yang lama-kelamaan akan hancur. Hancuran
sersah tersebut merupakan sumber CO2 yang bersama dengan air akan melarutkan
batuan karbonat.
Proses
pelarutan tersebut membentuk muka dari permukaan karst dan juga bentuk bagian
dalam batuan tersebut. Bentukan luar berupa bukit dan lembah, sementara
bentukan bagian dalam berupa sungai bawah tanah beserta semua speleothemnya.
Proses pelarutan terus terjadi selama batuan karbonat tersebut bersinggungan
dengan air yang mengandung karbondioksida seperti air hujan. Hasilnya adalah
perubahan bentuk permukaan ataupun bawah permukaan karst yang terus terjadi
secara perlahan.
Cekungan
karst merupakan satu bentuk fitur karst permukaan karst yang dapat menjadi
indikator penting untuk karakterisasi tingkat perkembangan karst (Haryono,
2010). Cekungan karst seperti sinkhole juga dapat digunakan sebagai dasar dalam
penilaian kondisi infiltrasi permukaan (Tezcan dan Ekmekci, 2004), yang
selanjutnya digunakan sebagai dasar penilaian kerentanan medan karst. Lindsey
dkk (2009) menyimpulkan bahwa analisis terhadap kepadatan sinkhole dapat
digunakan sebagai dasar penilaian kerentanan akuifer karst terhadap pencemaran
yang efektif.
Kawasan
karst Gunungsewu sebagian besar berupa perbukitan dan lembah karst. Kusumayudha
(2010) menyebutkan bahwa kawasan karst gunungsewu terbagi menjadi tiga bagian
yang memiliki karakteristik yang berbeda. Karakterisasi didasarkan pada
lithofasies karst Gunungsewu. Klasifikasi kawasan karst Gunungsewu juga
dilakukan oleh Purnomo dan Sugeng (2005) melalui data citra Landsat TM 7 dan
menyimpulkan bahwa kawasan kart tersebut terbagi menjadi kawasan karst kelas 1,
kelas 2 dan kelas 3. Kawasan karst kelas 1 dicirikan oleh morfologi permukaan
berupa jaringan lembah sungai yang berakhir pada suatu tempat, memiliki lembah
yang relatif lebar dan panjang yang mencirikan proses karstifikasi yang
intensif. Kawasan ini tersebar dibagian tengah karst Gunungsewu. Kawasan karst
kelas 2 merupakan kawasan pengimbuh air sungai bawah tanah dengan kelurusan
lembah yang pendek dan sempit. Kawasan kelas 2 tersebar didaerah Girisubo dan
Purwosari. Kawasan karst kelas 3 dicirikan oleh perbukitan yang melengkung
akibat perbedaan batuan penyusunnya. Kawasan ini tersebar disekitar Wonosari.
Karakterisasi
permukaan karst memiliki arti penting diantaranya dalam kaitan dengan pencirian
kerentanan medan karst. Perbedaan karakter permukaan dapat mengindikasikan
tingkat infiltrasi seperti disebutkan oleh Werz dan Hotzl (2007), Lindsey dkk
(2009), dan Plan dkk (2009). Penelitian ini mencoba melakukan karakterisasi morfologi
cekungan karst Gunungsewu dengan mendasarkan data DEM.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola persebaran cekungan
Analisis
pola persebaran cekungan di seluruh daerah penelitian menunjukkan kemiripan
karakteristik yaitu tersebar dengan pola acak. Hasil analisis tetangga terdekat
menghasilkan nilai sebagai berikut.
Tabel 1. Nilai Indek Tetangga Terdekat
sentroid cekungan
Faktor Hitung
|
Unit
Analisis
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Jarak rata-rata yang diobservasi
|
0.00174
|
0.00139
|
0.00215
|
0.00227
|
0.00222
|
Jarak rata-rata yang diharapkan
|
0.00131
|
0.00112
|
0.00180
|
0.00153
|
0.00161
|
Indeks tetangga terdekat
|
1.321
|
1.241
|
1.198
|
1.481
|
1.380
|
Sumber :
hasil perhitungan
Dari
tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa seluruh sampel pada tiap unit analisis
menunjukkan nilai indek tetangga terdekat memiliki nilai mendekati angka 1 yang
berarti memiliki pola persebaran yang acak. Namun demikian jika dibuat tingkat
keberaturannya, maka dapat dinyatakan bahwa unit analisis 3 memiliki tingkat
paling acak dan unit analisis 4 merupakan unit yang paling mengarah pada
persebaran yang lebih teratur. Secara visual nampak unit analisis 3 berasosiasi
dengan banyaknya kelurusan struktural.
Faktor kelerengan
Analisis
kelerengan yang diukur adalah kemiringan lereng. Analisis kemiringan lereng
menunjukkan nilai rerata kemiringan lereng yang bervariasi diantara seluruh
unit analisis penelitian. Kemiringan lereng rata-rata pada seluruh unit analisis
berkisar antara 16 hingga 21o. Nilai rerata kemiringan lereng hasil
pengukuran ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel 2.
Rerata kemiringan lereng cekungan
Faktor
hitung
|
Unit Analisis (satuan = o)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Rerata
Kemiringan
|
16,19
|
14,32
|
17,89
|
21,63
|
20,26
|
Standar
deviasi
|
5,61
|
4,91
|
5,84
|
7,26
|
7,62
|
Sumber : Hasil perhitungan
Tabel
tersebut menunjukkan bahwa rerata kemiringan lereng terbesar terdapat pada
daerah unit analisis 4 yaitu sebesar 21,63o. Daerah ini berasosiasi
dengan perbukitan karst yang tinggi pada kondisi lapangan yang sebenarnya.
Rerata kemiringan lereng terkecil terdapat pada daerah unit analisis 2 yang
memiliki visualisasi tekstural paling halus. Daerah unit analisis 2 ini
memiliki kondisi lapangan dengan cekungan-cekungan berlereng relatif lebih
landai dan luas. Jika dilihat variansi kemiringan lerengnya dapat diketahui
bahwa pada unit analisis 5 memiliki variansi yang paling tinggi sementara
daerah unit analisis 2 merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang relatif
paling seragam. Kemiringan lereng rata-rata semakin meningkat dari unit
analisis 2 hingga unit analisis 4, sementara itu variasi kemiringannya semakin
meningkat dari unit analisis 2 hingga unit analisis 5. Hasil uji beda melalui T-test
diketahui bahwa perbedaan kemiringan yang ada pada seluruh area unit analisis
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
Kekasaran Permukaan
Hasil
pengukuran kekasaran permukaan karst pada seluruh unit analisis diperoleh hasil
sebagai berikut.
Tabel 4.
Rerata kekasaran permukaan
Faktor Hitung
|
Unit
Analisis (m)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
Nilai Minimal
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Nilai Maksimal
|
252.65
|
223.73
|
226.02
|
254.19
|
258.94
|
Rata-rata
|
78.41
|
52.41
|
56.42
|
77.97
|
70.03
|
Standar Deviasi
|
54.90
|
33.07
|
31.49
|
51.51
|
56.86
|
Sumber : Hasil perhitungan
Dari
tabel tersebut diketahui bahwa seluruh unit analisis memiliki area yang datar
hingga tingkat kekasaran Intermediately
rugged dan Moderatly rugged.
Klasifikasi tersebut didasarkan pada indek kekasaran permukaan Riley dkk
(1999). Unit analisis 1, 4 dan 5 memiliki tingkat kekasaran permukaan hingga
level moderately rugged, sedangkan unit analisis 2 dan 3 memiliki tingkat
kekasaran permukaan hingga intermediately rugged. Unit analisis 2 merupakan
unit analisis dengan kekasaran permukaan paling datar.
Tabel 5.
Indek kekasaran permukaan Riley
Ruggedness Classification
|
Ruggedness Index Value
|
Level
|
0 – 80m
|
Nearly Level
|
81 – 116m
|
Slightly Rugged
|
117 – 161m
|
Intermediately Rugged
|
162 – 239m
|
Moderately Rugged
|
240 – 497m
|
Highly Rugged
|
498 – 958m
|
Extremely Rugged
|
959 – 4397m
|
Sumber
: Riley dkk (1999)
Hasil
perhitungan statistik menunjukkan bahwa sebagian besar unit analisis memiliki
perbedaan kekasaran permukaan yang signifikan, kecuali unit analisis 1
dibandingkan dengan unit analisis 4. Kekasaran permukaan unit analisis 1 tidak
memiliki perbedaan yang signifikan dengan kekasaran permukaan unit analisis 4.
Pada kedua unit analisis tersebut berupa perbukitan karst dengan cekungan
lembah berlereng terjal.
Tabel 5.
Nilai uji beda dengan T-test pada taraf signifikansi 5%
Unit Analisis
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
1
|
-
|
26,59
|
-22,77
|
-0,38
|
-6,95
|
2
|
-
|
-
|
5,76
|
27,37
|
17,56
|
3
|
-
|
-
|
-
|
23,39
|
-13,72
|
4
|
-
|
-
|
-
|
-
|
6,78
|
5
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Sumber : Hasil Perhitungan
Dari
tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar nilai t hitung berada lebih besar
ataupun lebih kecil dari nilai ambang batas penerimaan yaitu ± 1,960. Nilai t
hitung yang berada pada daerah penerimaan hanya dihasilkan dari hasil pembedaan
unit analisis 1 dengan unit analisis 4 yaitu sebesar -0,38, yang berarti pada
kedua unit analisis tersebut memiliki kesamaan tingkat kekasaran rata-ratanya.
Kesimpulan
GDEM
Aster dapat digunakan dengan baik untuk karakterisasi morfologi permukaan
karst. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dan SIG sangat membantu dalam
proses analisis morfologi tersebut.
Karst
gunungsewu memiliki keragaman karakteristik yang menyebar dari barat hingga
timur. Keragaman karakteristik tersebut didasarkan pada parameter pola
persebaran cekungan, kemiringan lereng, dan kekasaran permukaan karst.
·
Berdasar pada parameter pola persebaran cekungan diketahui seluruh
area karst gunungsewu memiliki pola persebaran cekungan yang acak. Pola
keberaturan cekungan tersebut dimungkinkan terdapat keterkaitan dengan bentuk
cekungan pada masing-masing unit analisis.
·
Berdasar parameter kemiringan lereng cekungan diketahui
bahwa kemiringan lereng terkecil terdapat disebelah barat (unit analisis 2) dan
semakin meningkat hingga sisi timur (unit analisis 4) yang berasosiasi dengan
perbukitan karst tinggi.
·
Berdasar parameter kekasaran permukaan diketahui bahwa
seluruh area karst gunungsewu memiliki kekasaran permukaan dari level datar
hingga intermediately rugged dan moderately rugged. Sebagian besar dari unit analisis memiliki
perbedaan tingkat kekasaran permukaan rata-rata yang signifikan. Kesamaan
tingkat kekasaran permukaan rata-rata hanya pada unit analisis 1 dengan unit
analisis 4.
Daftar Pustaka
Haryono,
E., Adji, T.N.,2004. Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Bahan Ajar. Kelompok
Studi Karst. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Kusumayudha, S.B., 2005. Hidrogeologi karst dan geometri fraktal
di daerah Gunungsewu. Penerbit Adicita. Yogyakarta.
Purnomo, H., Sugeng, 2005. Klasifikasi kawasan karst
menggunakan Landsat TM 7 daerah Wonosari Yogyakarta. PIT MAPIN XIV. Surabaya.
Plan,
L., Decker, K., Faber, R., Wagreich, M., Grasemann, B., 2009. Karst morphology
and groundwater vulnerability of high alpine karst plateaus. Environ Geol.58:
258-297.DOI: 10.1007/s00254-008-1605-5
Riley,
S., J., DeGloria, S., D., Elliot, R., 1999. A Terrain Ruggedness Index That
Quantifies Topographic Heterogeneity. Intermountain Journal of Science. Vol. 5.
1 – 4. P. 23-27.
Tezcan, L. dan Ekmekci, M., 2004. Surface cover infiltration
index: a suggested method to assess infiltration capacity for intrinsic
vulnerability in karstic areas in absence of quantitative data. Int. J.
Speleol, 33: 35-48.
Werz,
H., dan Hotzl, H., 2007. Groundwater risk intensity mapping in semi arid
regions using optical sensing data as an additional tool. Hydrogeology Journal.
15: 1031-1049 DOI: 10.1007/s10040-007-0202-0