Wilayah
Gunungsewu sering diidentikkan dengan daerah gersang yang tandus, sulit air,
dan sepi. Masyarakat luar Gunungsewu sering merasa enggan untuk masuk wilayah
ini karena terbayang sulitnya aksesibilitas antar lokasi. Untuk menuju suatu
tempat harus naik turun bukit dan meniti bebatuan karst yang tajam. Julukan “Wong Gunungsewu cedak watu adoh ratu”
adalah satu seloroh yang sangat umum pada masyarakat Gunungsewu pada jaman
dahulu. Satu ungkapan yang mengkiaskan perasaan jauhnya perhatian pemerintah
pada masyarakat Gunungsewu waktu dulu.
Visualisasi
tersebut sepertinya pada saat ini sedikit-demi sedikit berubah dengan berbagai
pembangunan yang terus digerakkan di wilayah Gunungsewu dan sekitarnya. Fasilitas
air minum yang dibangun pemerintah seperti proyek Bribin I ataupun Bribin II
merupakan hasil pembangunan pemerintah yang sangat signifikan mengubah bayangan
masyarakat Gunungsewu yang sulit air. Air didistribusikan melalui jaringan
pipa-pipa ke seluruh area Gunungsewu dan sekitarnya, sementara air dipompa dari
berbagai sungai bawah tanah seperti SBT Bribin tersebut. Pengelolaan air ini
dilakukan oleh pemerintah melalui PDAM.
Fasilitas
jalan yang ada banyak yang sudah dalam kondisi baik. Jalan tingkat
nasional telah terbentang dari ujung barat hingga ujung timur Gunungsewu, walau
pada sebagian ruas kondisinya masih perlu diperbaiki. Fasilitas ini sangat
banyak berperan terhadap kemajuan wilayah Gunungsewu seperti perkembangan
pariwisata yang berkembang luar biasa pada akhir-akhir ini.
Pariwisata
adalah satu sektor yang saat ini menjadi andalan pembangunan bagi pemerintah
Gunungkidul. Obyek-obyek fitur karst dan pantai dioptimalkan menjadi obyek
tujuan wisata yang memiliki daya tarik luar biasa. Kunjungan wisata ke berbagai
obyek wisata Gunungsewu sangat tinggi, terutama pada hari-hari libur dan hari
besar nasional. Perkembangan ini tentu menjadi berkah yang luar biasa bagi
masyarakat Gunungsewu dan benar-benar telah mampu meningkatkan taraf hidup
masyarakat.
Pendidikan
masyarakat rata-rata mulai beranjak dari hanya pendidikan dasar menjadi sekolah
menengah dan bahkan telah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Tidak
sedikit masyarakat Gunungsewu dan sekitarnya telah memiliki gelar kesarjanaan
terutama bagi penduduk yang lahir setelah tahun 70an. Sarjana yang pada saat
dulu adalah gelar yang sangat “berkilau” bagi masyarakat Gunungsewu dahulu
kala, kini lebih dipandang secara proporsional. Banyak pula pendatang ke daerah
Gunungsewu dengan strata pendidikan tinggi karena penempatan kerja, keluarga,
atau perkawinan. Dengan peningkatan strata pendidikan rata-rata masyarakat ini,
nampak masyarakat Gunungsewu tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di
wilayah sekitarnya seperti Bantul dan Sleman.
Rasa
kekeluargaan diantara masyarakat Gunungsewu adalah satu hal yang sangat terjaga
hingga kini. Budaya gotong-royong, saling bantu dengan sesama,
hormat-menghormati, menjaga kesantunan dan kesopanan masih sangat kental dalam
kehidupan masyarakat Gunungsewu. Pedoman “karo
tangga kudu pager piring dudu giring” cukup melandasi kokohnya ikatan
kekeluargaan dan bertetangga. Sehingga sangat tidak heran jika penduduk
saling kenal dengan baik hingga diluar batas-batas administratif desa. Bahkah
sering dalam satu kelompok pemukiman hampir seluruhnya memiliki ikatan atau
alur keluarga yang masih jelas. Rasa kekeluargaan ini masih sangat terasa
walaupun penduduk Gunungsewu tersebut telah pergi merantau ke luar daerah. IKG
(Ikatan Keluarga Gunungkidul) adalah satu organisasi yang menjadi contoh
perwujudan kentalnya perasaan kekeluargaan tersebut walaupun mereka telah pergi
merantau. Komunikasi selalu terjaga dengan baik diantara mereka.
Pertanian
adalah mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Gunungsewu. Walaupun
jika dilihat dari sisi kuantitas, pertanian yang dilakukan tidaklah dalam skala
yang besar, tetapi tetap merupakan penyangga kehidupan sebagian besar
masyarakat terutama pada musim-musim penghujan. Ketika musim kemarau, lahan
pertanian ditanami sedikit palawija, dan mereka mulai menggarap pekerjaan
pertukangan dan pekerjaan lain apa adanya. Bagi sebagian masyarakat yang telah
memiliki pekerjaan tetap seperti pegawai negeri atau swasta ataupun usaha
mandiri, pertanian dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Keterbatasan alam ini
menjadikan mereka harus selalu beradaptasi dengan musim tersebut. Pertanian
hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan yang memiliki tutupan tanah seperti
dasar cekungan atau lereng perbukitan yang di teras. Ternak seperti sapi dan
kambing menjadi andalan tabungan keluarga bagi sebagian besar masyarakat
Gunungsewu. Hasil kerja utama baik dari pertanian atau pekerjaan lainnya sering
diwujudkan menjadi ternak tersebut. Oleh karena itu banyak ditemui
kandang-kandang sapi atau kambing di sebagian rumah penduduk Gunungsewu. Namun
demikian, ternak ini sebagian dipelihara secara temporal yang artinya, ketika
ketersediaan pakan sulit maka ternak tersebut harus dijual.
Masyarakat
Gunungsewu adalah masyarakat yang sangat toleran terhadap sesama. Perbedaan-perbedaan
atribut sosial tidak terlalu dipusingkan bagi masyarakat. Bagi mereka yang
terpenting adalah bagaimana seseorang tersebut mampu “ajur ajer” terhadap lingkungan, peka terhadap apa yang diinginkan
oleh masyarakat, dan selalu siap bekerjasama dengan orang lain. Komunikasi yang
akrab dan sopan, tidak terlalu memperlihatkan kelebihan dan keunggulan pribadi
menjadi kunci keberhasilan bermasyarakat di wilayah Gunungsewu ini. Pandangan
yang bermacam-macam atas sesuatu hal sering muncul mengingat latar belakang
pendidikan dan kondisi sosial, namun musyawarah menjadi ujung penyelesaian yang
lumrah bagi masyarakat Gunungsewu.