Term

Artikel dalam blog ini adalah karya asli penulis. Beberapa artikel pernah penulis unggah diblog yang lain sebelumnya, yang pada saat ini blog tersebut telah penulis hapus. Disamping itu, sebagian juga merupakan pindahan tulisan dari web geo.fis.unesa.ac.id mengingat keterbatasan space pada web tersebut. Pembaca diijinkan untuk menyitir artikel dalam blog ini, tetapi wajib mencantumkan nama blog ini sebagai sumber referensi untuk menghindari tindakan plagiasi. Terimakasih

Thursday, March 26, 2015

Gunungsewu Saat Ini


Wilayah Gunungsewu sering diidentikkan dengan daerah gersang yang tandus, sulit air, dan sepi. Masyarakat luar Gunungsewu sering merasa enggan untuk masuk wilayah ini karena terbayang sulitnya aksesibilitas antar lokasi. Untuk menuju suatu tempat harus naik turun bukit dan meniti bebatuan karst yang tajam. Julukan “Wong Gunungsewu cedak watu adoh ratu” adalah satu seloroh yang sangat umum pada masyarakat Gunungsewu pada jaman dahulu. Satu ungkapan yang mengkiaskan perasaan jauhnya perhatian pemerintah pada masyarakat Gunungsewu waktu dulu.
Visualisasi tersebut sepertinya pada saat ini sedikit-demi sedikit berubah dengan berbagai pembangunan yang terus digerakkan di wilayah Gunungsewu dan sekitarnya. Fasilitas air minum yang dibangun pemerintah seperti proyek Bribin I ataupun Bribin II merupakan hasil pembangunan pemerintah yang sangat signifikan mengubah bayangan masyarakat Gunungsewu yang sulit air. Air didistribusikan melalui jaringan pipa-pipa ke seluruh area Gunungsewu dan sekitarnya, sementara air dipompa dari berbagai sungai bawah tanah seperti SBT Bribin tersebut. Pengelolaan air ini dilakukan oleh pemerintah melalui PDAM.
Fasilitas jalan yang ada banyak yang sudah dalam kondisi baik. Jalan tingkat nasional telah terbentang dari ujung barat hingga ujung timur Gunungsewu, walau pada sebagian ruas kondisinya masih perlu diperbaiki. Fasilitas ini sangat banyak berperan terhadap kemajuan wilayah Gunungsewu seperti perkembangan pariwisata yang berkembang luar biasa pada akhir-akhir ini. 
Pariwisata adalah satu sektor yang saat ini menjadi andalan pembangunan bagi pemerintah Gunungkidul. Obyek-obyek fitur karst dan pantai dioptimalkan menjadi obyek tujuan wisata yang memiliki daya tarik luar biasa. Kunjungan wisata ke berbagai obyek wisata Gunungsewu sangat tinggi, terutama pada hari-hari libur dan hari besar nasional. Perkembangan ini tentu menjadi berkah yang luar biasa bagi masyarakat Gunungsewu dan benar-benar telah mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Pendidikan masyarakat rata-rata mulai beranjak dari hanya pendidikan dasar menjadi sekolah menengah dan bahkan telah banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Tidak sedikit masyarakat Gunungsewu dan sekitarnya telah memiliki gelar kesarjanaan terutama bagi penduduk yang lahir setelah tahun 70an. Sarjana yang pada saat dulu adalah gelar yang sangat “berkilau” bagi masyarakat Gunungsewu dahulu kala, kini lebih dipandang secara proporsional. Banyak pula pendatang ke daerah Gunungsewu dengan strata pendidikan tinggi karena penempatan kerja, keluarga, atau perkawinan. Dengan peningkatan strata pendidikan rata-rata masyarakat ini, nampak masyarakat Gunungsewu tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di wilayah sekitarnya seperti Bantul dan Sleman.
Rasa kekeluargaan diantara masyarakat Gunungsewu adalah satu hal yang sangat terjaga hingga kini. Budaya gotong-royong, saling bantu dengan sesama, hormat-menghormati, menjaga kesantunan dan kesopanan masih sangat kental dalam kehidupan masyarakat Gunungsewu. Pedoman “karo tangga kudu pager piring dudu giring” cukup melandasi kokohnya ikatan kekeluargaan dan bertetangga. Sehingga sangat tidak heran jika penduduk saling kenal dengan baik hingga diluar batas-batas administratif desa. Bahkah sering dalam satu kelompok pemukiman hampir seluruhnya memiliki ikatan atau alur keluarga yang masih jelas. Rasa kekeluargaan ini masih sangat terasa walaupun penduduk Gunungsewu tersebut telah pergi merantau ke luar daerah. IKG (Ikatan Keluarga Gunungkidul) adalah satu organisasi yang menjadi contoh perwujudan kentalnya perasaan kekeluargaan tersebut walaupun mereka telah pergi merantau. Komunikasi selalu terjaga dengan baik diantara mereka.
Pertanian adalah mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Gunungsewu. Walaupun jika dilihat dari sisi kuantitas, pertanian yang dilakukan tidaklah dalam skala yang besar, tetapi tetap merupakan penyangga kehidupan sebagian besar masyarakat terutama pada musim-musim penghujan. Ketika musim kemarau, lahan pertanian ditanami sedikit palawija, dan mereka mulai menggarap pekerjaan pertukangan dan pekerjaan lain apa adanya. Bagi sebagian masyarakat yang telah memiliki pekerjaan tetap seperti pegawai negeri atau swasta ataupun usaha mandiri, pertanian dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Keterbatasan alam ini menjadikan mereka harus selalu beradaptasi dengan musim tersebut. Pertanian hanya dapat dilakukan pada lahan-lahan yang memiliki tutupan tanah seperti dasar cekungan atau lereng perbukitan yang di teras. Ternak seperti sapi dan kambing menjadi andalan tabungan keluarga bagi sebagian besar masyarakat Gunungsewu. Hasil kerja utama baik dari pertanian atau pekerjaan lainnya sering diwujudkan menjadi ternak tersebut. Oleh karena itu banyak ditemui kandang-kandang sapi atau kambing di sebagian rumah penduduk Gunungsewu. Namun demikian, ternak ini sebagian dipelihara secara temporal yang artinya, ketika ketersediaan pakan sulit maka ternak tersebut harus dijual. 
Masyarakat Gunungsewu adalah masyarakat yang sangat toleran terhadap sesama. Perbedaan-perbedaan atribut sosial tidak terlalu dipusingkan bagi masyarakat. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana seseorang tersebut mampu “ajur ajer” terhadap lingkungan, peka terhadap apa yang diinginkan oleh masyarakat, dan selalu siap bekerjasama dengan orang lain. Komunikasi yang akrab dan sopan, tidak terlalu memperlihatkan kelebihan dan keunggulan pribadi menjadi kunci keberhasilan bermasyarakat di wilayah Gunungsewu ini. Pandangan yang bermacam-macam atas sesuatu hal sering muncul mengingat latar belakang pendidikan dan kondisi sosial, namun musyawarah menjadi ujung penyelesaian yang lumrah bagi masyarakat Gunungsewu.